Ini sudah jadi dilema sejak awal tahun 2000-an lalu. Apa itu? Tentu saja batubara khususnya transportasi batubara.
Tambang tambang batubara makin tahun makin berkembang di Provinsi Jambi. Izin izinnya dari pemerintah pusat langsung, kita hanya mendapat laporan saja mengenai kehadiran 1, 2 bahkan puluhan tambang batubara baru.
Sebenarnya, ini bagus bagi pertumbuhan ekonomi Jambi secara makro. Tambang batubara membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Dan bahkan, ada banyak warga yang ikut kecipratan rezeki dari batubara ini.
Tetapi masalahnya adalah, di bidang transportasi batubara. Bidang ini yang belum terpecahkan oleh pendahulu saya yakni Gubernur Gubernur Jambi periode lalu.
Ya, transportasi batubara lewat jalur darat, menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat yang dilaluinya. Pertumbuhan tambang batubara, menumbuhkan pula transportasi darat yang kian kompleks dan memusingkan banyak pihak.
Semula tercatat ada 8.000-an unit truk pengangkut batubara, terakhir sudah mencapai puluhan ribu unit. Wajar kalau ini membuat jalan umum yang dilaluinya menjadi penuh sesak. Macet tak terhindarkan. Konflik sosial menjadi jadi.
Angka kecelakaan yang melibatkan truk bermuatan batubara meningkat. Kemacetan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Jalan nasional cepat rusak. Penolakan masyarakat juga kian hari kian kuat terkait transportasi batubara via darat ini.
Apa Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi tak ada solusi? Ya Allah. Saya di Mekkah sewaktu umrah selalu berdoa agar diberi jalan keluar oleh Allah SWT terkait masalah transportasi batubara ini.
Selain itu, kami sudah maksimal! Kami itu ialah Pemrov Jambi dan unsur forkompida. Semua sudah kami lakukan.
Mulai dari rekayasa lalu lintas, pengaturan ini itu untuk truk muatan batubara, sampai penyiapan jalur khusus batubara via darat. Tapi apa yang terjadi. Semua seperti benang khusus yang sulit terurai.
Pada akhirnya, kita hanya bisa menerapkan sistem buka tutup. Kadang kita tutup akses jalan nasional bagi truk batubara, kadang dibuka lagi karena "jeritan" sopir truk batubara yang kehilangan penghasilan akibat penutupan akses tersebut.
Begini terus yang terjadi. Berulang-ulang. Berantai rantai dan berentet rentet waktu yang dihabiskan mengurus masalah yang kian kusut ini.
Bahkan jalur khusus yang dijanjikan pengusaha batubara, sampai hari ini belum ada yang terealisasi. Kita seperti dibuai oleh janji jalan khusus batubara oleh mereka, nyatanya hingga kini tak terpenuhi juga.
Lagi lagi kita kembali ke rekayasa lalu lintas. Kita coba lagi stop hingga beberapa minggu operasional truk muatan batubara. Tapi apa yang terjadi? Sopir sopir truk batubara malah demo besar besaran hingga menyebabkan kerusakan sebagian kantor Gubernur Jambi. Hasilnya apa? Tak ada. Semua kecewa.
Insiden ini membuat kami (Forkompida) rapat lagi dengan pengusaha batubara. Bahas lagi kebijakan apa yang perlu dilakukan. Terakhir, keputusannya adalah, transportasi sungai jadi pilihan. Tak ada lagi lewat darat.
Semua sepakat. Semua bersemangat. Semua seperti menerima dengan lapang dada.
Lalu apa yang terjadi setelah itu? Kerusakan jembatan. Ya, gara gara padatnya aktivitas sungai akibat muatan batubara, membuat beberapa ponton menabrak tiang jembatan.
Ini bikin heboh lagi. Kerugian lagi bagi negara dan warga negara yang berdomisili di Provinsi Jambi.
Lihat, betapa serba salahnya saya sebagai Gubernur Jambi atas transportasi batubara ini. Apalagi yang harus kita lakukan? Menutup permanen operasi semua tambang batubara di Provinsi Jambi? Tidak bisa. Kita tidak punya wewenang untuk itu.
Jadi ya, beginilah kompleksnya persoalan batubara di provinsi kita tercinta ini. Tetapi kita tidak menyerah, kita akan tetap memperjuangkan yang terbaik. Jalur air dilanjut, jalur darat sama sama kita desak para pengusaha batubara agar jalan khususnya segera direalisasikan.
Inilah curhat (curahan hati) saya sebagai Gubernur Jambi kepada semua pihak. Semoga kita bisa saling memahami persoalan transportasi batubara ini. (*)
Editor : Monas Junior