Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP
Kasus penangkapan Bupati Ogan Ilir, AW Nofiadi Mawadi, oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) telah mengguncang berbagai kalangan dan menimbulkan kehebohan di masyarakat. AW Nofiadi Mawadi, yang dikenal sebagai bupati termuda di daerahnya, dinyatakan positif menggunakan narkoba jenis sabu-sabu. Penangkapan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga langsung memicu kritik tajam terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertanggung jawab dalam proses seleksi kepala daerah.
Masyarakat dan berbagai pihak kini mempertanyakan ketelitian dan integritas proses seleksi yang telah dilakukan. Apakah proses tersebut benar-benar ketat dan transparan, atau terdapat kelonggaran yang memungkinkan seorang calon kepala daerah lolos meskipun terlibat dalam penyalahgunaan narkoba? Kasus ini menyoroti kelemahan mendasar dalam mekanisme pemilihan dan seleksi calon kepala daerah, serta menuntut evaluasi serius terhadap standar dan prosedur yang berlaku serta tanggung jawab berbagai pihak dalam memastikan bahwa hanya kandidat yang benar-benar layak dan bebas dari pengaruh narkoba yang dapat memimpin daerah.
Fakta bahwa seorang calon atau kepala daerah dapat lolos dari berbagai tahapan seleksi tanpa terdeteksi penyalahgunaan narkoba menimbulkan keraguan tentang efektivitas pemeriksaan latar belakang yang dilakukan selama proses pencalonan. Apakah uji kesehatan yang selama ini diterapkan benar-benar mencakup tes narkoba yang memadai, atau justru ada kelalaian dalam prosedur ini? Kelemahan ini menunjukkan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap standar seleksi calon kepala daerah.
Lebih dari itu, kasus ini memunculkan pertanyaan tentang tanggung jawab berbagai pihak, mulai dari partai politik yang mengusung calon, KPU sebagai penyelenggara, hingga lembaga penegak hukum. Setiap aktor dalam proses pemilu memiliki peran penting dalam memastikan bahwa hanya individu-individu yang layak dan bebas dari pengaruh narkoba yang bisa memimpin daerah. Kejadian ini membuka peluang untuk meninjau kembali mekanisme seleksi yang selama ini diterapkan, termasuk memperketat pemeriksaan latar belakang calon kepala daerah.
Publik tentu menginginkan transparansi lebih lanjut dari KPU maupun partai politik terkait bagaimana AW Nofiadi bisa lolos seleksi meski terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan pemilu dipertaruhkan. Oleh karena itu, penting bagi institusi terkait untuk segera mengambil tindakan korektif. Seleksi harus lebih ketat, memastikan bahwa integritas calon kepala daerah terjaga. Jika tidak, kasus serupa bisa saja terulang, dan ini akan semakin menggerus kredibilitas demokrasi lokal di mata publik.
Selain itu, keberadaan calon kepala daerah yang merupakan bekas pecandu narkoba menimbulkan dilema tersendiri di tengah masyarakat. Di satu sisi, mereka yang telah menjalani rehabilitasi layak mendapatkan kesempatan kedua. Bekas pecandu yang berkomitmen untuk berubah bahkan dapat menjadi advokat yang efektif dalam memerangi penyalahgunaan narkoba.
Namun, di sisi lain, ada keraguan di masyarakat terkait stabilitas moral dan integritas seseorang dengan latar belakang seperti itu. Mereka khawatir, apakah orang tersebut benar-benar mampu memimpin dengan bersih dan bebas dari pengaruh negatif.
Dalam konteks ini, partai politik dan lembaga penyelenggara pemilu harus lebih selektif. Proses seleksi tidak hanya menitikberatkan pada riwayat masa lalu, tetapi juga harus memperhatikan apakah kandidat telah menunjukkan transformasi yang nyata. Jika seorang mantan pecandu menunjukkan perubahan signifikan dari segi moralitas, perilaku, dan kepemimpinan, masyarakat mungkin bisa melihatnya sebagai simbol harapan dan pembuktian bahwa setiap orang berhak memperbaiki diri.
Moralitas dan etika politik bangsa ini sedang diuji. Oleh karena itu, partai politik sebagai lembaga rekrutmen dan kaderisasi pemimpin bangsa harus bertindak dengan tepat. Mereka bertanggung jawab untuk memunculkan pemimpin yang bukan hanya kompeten, tetapi juga bersih—bukan hanya dari tindak pidana korupsi, tetapi juga dari penyalahgunaan narkoba. Kegagalan dalam menyeleksi pemimpin yang bersih mencerminkan lemahnya mekanisme seleksi partai, serta menunjukkan bahwa tujuan kaderisasi belum sepenuhnya tercapai.
Pemimpin yang bersih dari narkoba bukan sekadar tuntutan ideal, melainkan suatu keharusan jika kita ingin membangun bangsa yang sehat secara moral dan politik. Pemimpin dengan integritas moral yang tinggi akan mampu membuat keputusan yang tepat demi kesejahteraan rakyatnya. Kepemimpinan yang baik harus dibangun di atas pondasi kejujuran, tanggung jawab, dan komitmen terhadap nilai-nilai etika dan hukum.
Narkoba tidak hanya menghancurkan individu, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Ketika seorang pemimpin terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, dampaknya lebih luas daripada sekadar persoalan pribadi. Ia menjadi simbol kegagalan sistem politik dan sosial yang seharusnya menjaga moralitas dan integritas publik. Masyarakat kehilangan kepercayaan, sementara kehormatan lembaga yang diwakili oleh pemimpin tersebut ternoda.
Pemimpin bukan sekadar sosok yang berkuasa, tetapi cerminan dari harapan dan kepercayaan rakyat. Dalam dunia yang penuh tantangan ini, bangsa kita membutuhkan figur-figur yang tidak hanya kompeten, tetapi juga memiliki moralitas yang tak tercela. Narkoba menghancurkan bukan hanya individu, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap sistem politik dan pemerintahan.
Seorang pemimpin yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba telah kehilangan legitimasi untuk memimpin, karena dia gagal menjadi teladan bagi masyarakat yang dia pimpin. Oleh karena itu, kita harus tegas menolak calon pemimpin yang pernah terjerat narkoba. Integritas moral dan etika adalah fondasi dari kepemimpinan yang sejati.
Jika kita ingin membangun masa depan yang lebih baik, kita harus memastikan bahwa mereka yang memegang kendali adalah orang-orang yang benar-benar bersih, bebas dari pengaruh buruk, dan berkomitmen penuh untuk melayani rakyat dengan hati nurani yang tulus. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang mampu menginspirasi, bukan yang membawa kehancuran. Memilih pemimpin yang bebas dari narkoba bukanlah pilihan, tetapi kewajiban demi masa depan yang lebih bermartabat dan adil bagi kita semua. (*)
*Penulis Ialah Akademisi UIN STS Jambi
Editor : Monas Junior
Artikel Terkait