Oleh: Syaiful Bakri *
Hoax dalam Pilkada merupakan salah satu tantangan serius yang mengancam integritas demokrasi. Fenomena ini hadir dalam berbagai bentuk, seperti manipulasi data survei yang memberikan kesan seolah-olah kandidat tertentu lebih unggul, klaim dukungan palsu dari tokoh atau organisasi yang sebenarnya tidak pernah menyatakan dukungan resmi, hingga tuduhan tak berdasar terhadap kandidat, penyelenggara pemilu, atau institusi yang terkait.
Tidak jarang pula, hoax disertai dengan narasi-narasi negatif yang bertujuan menyesatkan pemilih dan merusak citra pihak lain.
Penyebaran hoax dalam Pilkada tidak terjadi secara sporadis, melainkan sering dirancang dengan rapi dan disebarkan melalui berbagai platform digital seperti media sosial, grup percakapan daring, atau situs berita tidak kredibel. Kemudahan akses dan kecepatan distribusi di platform tersebut membuat hoax dapat tersebar luas dalam waktu singkat.
Hoax tidak hanya dimanfaatkan sebagai senjata untuk menyerang lawan politik, tetapi juga untuk membangun narasi yang menguntungkan pihak tertentu. Misalnya, dengan menyebarkan informasi palsu tentang prestasi kandidat atau mengklaim dukungan yang tidak pernah diberikan oleh tokoh masyarakat atau organisasi tertentu.
Penyebaran hoax sering kali mencerminkan kepanikan pihak yang merasa terdesak ketika menghadapi petahana yang kuat.
Ketika menghadapi calon incumbent yang memiliki dukungan luas dan track record yang solid, strategi jangka pendek yang mengandalkan penyebaran informasi palsu sering kali menjadi pilihan yang tampaknya efektif bagi pihak yang terdesak. Dengan menyebarkan kebohongan atau fitnah, mereka berharap dapat merusak citra petahana dan mengalihkan perhatian publik dari kekuatan dan pencapaian yang telah ada.
Namun, ini tidak hanya sebatas taktik jangka pendek, melainkan bagian dari sebuah pembodohan terstruktur, sistematis, dan masif yang dirancang untuk menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat.
Pembodohan ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan sebuah strategi yang terorganisir dengan tujuan untuk mendistorsi persepsi publik dan mengarahkan mereka ke narasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Hoax yang disebarkan secara masif dan terencana ini berfungsi untuk mereduksi kapasitas kritis masyarakat, mengaburkan fakta, dan memperburuk ketidakpercayaan terhadap pemimpin yang sudah terbukti.
Salah satu contoh adalah dicatutnya nama bakal calon Bupati Sarolangun, Muhammad Madel, hingga Ivanda, anak dari Sukandar, mantan Bupati Tebo dua periode, yang turut diseret dalam klaim-klaim tidak berdasar sebagai bagian dari timses Romi-Sudirman. Dengan memanipulasi informasi dan memperkeruh situasi, pihak yang terdesak berusaha menggiring opini publik ke arah yang menguntungkan mereka, meskipun dengan cara yang merusak tatanan demokrasi itu sendiri.
Tujuan utama dari penyebaran hoax adalah menggiring opini publik agar percaya pada informasi yang keliru. Dengan demikian, pemilih diarahkan untuk mengambil keputusan berdasarkan data yang tidak akurat. Selain itu, hoax kerap digunakan untuk merusak reputasi lawan politik dengan menyebarkan isu-isu sensitif, seperti dugaan korupsi atau masalah pribadi, yang sering kali tidak memiliki dasar fakta.
Dalam beberapa kasus, hoax juga digunakan untuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dengan menuduh mereka tidak netral atau berpihak pada salah satu kandidat.
Narasi-narasi semacam ini tidak hanya bertujuan untuk menyesatkan, tetapi juga secara sistematis merusak kredibilitas lembaga-lembaga yang bertanggung jawab menjaga integritas proses demokrasi. Dalam situasi seperti ini, penyebaran informasi palsu berpotensi memecah belah masyarakat, menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses politik, dan menggiring opini publik untuk meragukan transparansi serta keadilan yang menjadi pilar utama demokrasi.
Di balik taktik ini, tersirat sebuah ketidakmampuan untuk bersaing secara sehat dan konstruktif, yang sebenarnya sangat diperlukan dalam demokrasi. Tak hanya sekadar serangan verbal, praktik hoax dan pembodohan ini juga menciptakan polarisasi dalam masyarakat, memecah belah kekuatan rakyat, dan mengalihkan fokus dari isu-isu substantif yang seharusnya menjadi bahan perdebatan dalam demokrasi yang sehat. Di sini, terlihat dengan sendirinya ketidakmampuan dari beberapa pihak, termasuk pengamat tukang, timses, dan tim hore, yang lebih memilih fokus pada narasi negatif dan menyerang pribadi lawan, daripada memperkenalkan visi dan misi yang substansial. Hal ini juga mencerminkan ketidakmampuan mereka untuk membranding paslon yang memang minim prestasi, apalagi dengan masa lalu yang kontroversial, seperti status sebagai mantan pecandu narkoba, yang sering kali menjadi topik sensitif dalam membangun citra positif.
Ketidakmampuan untuk bersaing secara sehat ini tidak hanya menciptakan polarisasi, tetapi juga membuka ruang bagi praktik pembodohan yang lebih masif, yang memperburuk kualitas perdebatan publik dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap kandidat yang lebih berprestasi. Alih-alih mengedepankan diskursus politik yang sehat, mereka justru lebih memilih untuk menyerang karakter lawan sebagai taktik untuk mereduksi daya tarik paslon yang lebih berprestasi. Dalam hal ini, tantangan utama bukan hanya pada calon pemimpin, pengamat tukang, timses, dan tim hore yang lebih fokus memainkan narasi negatif, tetapi juga pada bagaimana masyarakat dapat menyaring informasi dengan bijak dan tidak terjebak dalam pusaran klaim palsu yang merugikan banyak pihak.
Masyarakat harus memiliki kesadaran kolektif yang tinggi, tidak terjebak dalam narasi palsu, dan cerdas dalam memilah informasi. Jika kita tidak mengambil langkah tegas untuk melawan hoax, masa depan demokrasi kita akan tergadai. Mari jaga integritas proses demokrasi dengan menolak hoax, untuk masa depan politik yang lebih bersih dan transparan. (***)
* Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J)
Editor : Monas Junior
Artikel Terkait