Sekarang ia terpaksa berada di kamar gelap ini, bersama anak anak lain yang serupa nasibnya dengan dia.
"Sekarang Hantu Mangun, mana?" tanya Zaki.
"Ayo Zaki, giliran kamu ikut aku!"
Tiba tiba mahluk besar tinggi berjubah hitam muncul di tengah tengah ruangan. Wajahnya tak kelihatan. Zaki kaget sampai punggungnya menempel ke dinding di belakang tubuhnya.
"A... apa!"
"Berdiri! Ikut aku!"
Teriak mahluk itu. Wandi membantu Zaki berdiri. Sambil berbisik agar Zaki menuruti semua perkataan Hantu Mangun itu.
Hantu itu mencengkeram tangan Zaki, lalu dengan cepat dia terbang sambil membawa zaki di tangan sebelahnya.
Tengah malam buta itu Zaki melihat dari atas betapa luas kebun sawit di kampungnya itu. Di bawah sinar bulan, ia bisa melihat beberapa pondok dalam kebun sawit itu, masih dihuni orang karena terlihat api unggun yang masih menyala.
Mereka terus terbang hingga berhenti di satu atap rumah warga. Hantu Mangun pelan-pelan menurunkan Zaki. Setelah mendarat di tanah, hantu itu menunjuk pintu.
"Gedor!"
Zaki ketakutan.
"Gedor pintu itu!" teriak Hantu Mangun.
Zaki akhirnya menurut. Digedornya pintu rumah berdinding batu bata belum berplaster itu hingga 3 kali. Begitu mendengar suara sahutan orang dari dalam rumah, Hantu Mangun kembali mencekam tangan Zaki, lalu kembali dibawa terbang.
Dari atas ia bisa melihat betapa kebingungannya sang pemilik rumah, yang tak lain Pak Udin itu. Pelongok pelongok tetapi tak menemukan siapa yang mengetuk pintu di larut malam begini.
Esoknya, dapat kabar bahwa Rianto, ponakan Pak Udin, meninggal setelah kecelakaan tunggal di jalan lintas.
Zaki menangis. Wandi menatapnya prihatin di ruang yang sama itu.
"Sudahlah... Ini sudah nasib kita."
Kata Wandi, menutup hari itu dengan jerit tangis ke 6 anak malang itu.(***)
* Monas Junior ialah nama pena dari Alpadli Monas. Seorang jurnalis tinggal di Provinsi Jambi. Monas Junior menerbitkan buku cerpen Aum (2001), Harimau Sumatera (2002), Apa yang Kau Lihat (2012) dan Novel Pemburu Emas : Legenda Bermula (2013).
Editor : Monas Junior