"Aku di mana?"
Kata Zaki kepada orang yang membangunkannya. Seorang bocah berwajah pucat, kepala botak, beralis tebal, bertubuh kurus.
"Sss... jangan ribut. Nanti dimarahin Datuk."
Ucap bocah bernama Wandi itu.
Zaki duduk. Melihat ke atas, ke kiri, ke belakang, ke depan, lalu berusaha berdiri. Tetapi Wandi menahannya.
"Sudah... duduk saja. Makin kau tenang, makin aman kamu."
Zaki terpaksa menurut. Ia makin ketakutan melihat 4 anak laki laki lain yang tak dikenalnya, juga berwajah pucat, tubuh kurus dan kepala plontos.
Mereka hanya mengenakan celana pendek tanpa baju. Semua menatap Zaki dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Kamu ngapain sampai di sini?"
"Gak ngapa ngapain."
"Sebelum kamu kubangunkan tadi, kami lagi ngapain?"
"Aku lagi nge-game di kamar, tau tau aku tertidur," kenang Zaki.
"Waktu itu dekat Magrib?" tanya Wandi, lagi.
"Iya..."
"Pantas."
"Pantas kenapa?" tanya Zaki, cemas.
Wandi tak menjawab. Ia berdiri, lalu duduk di dekat 4 kawannya yang lain.
"Sini," perintah Wandi.
Takut takut, akhirnya Zaki beringsut ingsut ke tempat duduk 5 anak itu.
"Kuceritakan semua. Tapi kau harus pasrah. Anggap ini hukuman buat kita, anak anak nakal," Wandi memulai cerita.
Zaki makin bingung.
Wandi menerangkan bahwa mereka bertugas membantu kerjaan Hantu Mangun. Yaitu, membangunkan orang orang yang keluarganya akan meninggal.
Tugas Hantu Mangun ini hanya memberitahukan bahwa akan ada kematian pada keluarga seseorang. Hantu ini akan gentayangan di malam hari, mengetuk jendela, pintu atau bahkan menendang nendang dinding rumah orang yang akan diberitahu.
"Nah, ini tugas kita. Kita yang ngetuk jendela, gedor pintu atau nendang dinding. Kalau penghuni rumah sudah bangun, kita balik lagi ke sini," terang Wandi.
Zakin makin merinding. Ia tiba tiba terbayang wajah Emak-nya yang sedih dan wajah Ayah-nya yang marah. Tetapi itu sudah terlambat.
Editor : Monas Junior
Artikel Terkait